Korona atau Corona?
Ria Febrina
VIRUS CORONA kini populer di Indonesia. Meskipun populer, penamaan virus tersebut tidak sesuai dengan kaidah pengindonesiaan kata dan ungkapan asing. Publik saat ini menganggap penulisannya dengan frasa virus corona.
Coronavirus atau virus corona merupakan keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan. Masyarakat Indonesia mengenal virus corona sebagai virus jenis baru yang seharusnya disebut dengan 2019 novel coronavirus (2019-ncov).
Padahal, ada virus corona jenis lain yang pernah mewabah, yaitu severe acute respiratory syndrome (SARS) dan middle eastern respiratory syndrome (MERS). SARS merebak di Tiongkok pada 2003, MERS terdeteksi di Arab Saudi pada 2012, dan 2019-nCov mewabah di Tiongkok pada 2019.
Penggunaan frasa virus corona di media massa merupakan penggunaan yang tidak sesuai kaidah. Pertama, istilah yang tepat untuk jenis virus tersebut ialah 2019 novel coronavirus (2019-ncov). Namun, bahasa bersifat arbitrer dan masyarakat Indonesia dapat menyepakati bentuk dan makna tersebut. Jika bentuk asli menyulitkan pengguna bahasa Indonesia, tidak ada salahnya menyepakati virus tersebut bernama virus corona. Namun, pada tahap kedua, ketika sebuah bentuk sudah disepakati, perlu mempertimbangkan kaidah yang dimiliki oleh bahasa Indonesia, yakni kaidah pengindonesiaan kata dan ungkapan asing. Pembentukan frasa virus corona justru mengabaikan hal tersebut.
Dalam garis haluan penggantian kata dan ungkapan asing, penyerapan bahasa tidak dapat dilaksanakan secara spontan dan berdasarkan cita rasa orang seorang (Pusat Bahasa, 2005). Harus ada kesinambungan dengan proses penyerapan kata yang sudah ada. Pertama, penyerapan harus mempertimbangkan pola yang ada. Pola frasa novel corona virus (MD) diserap menjadi virus corona (DM). Pola tersebut sudah sesuai dengan kaidah. Pola yang berlaku dalam bahasa Indonesia ialah pola Diterangkan (inti) – Menerangkan (penjelas) atau pola DM. Sementara itu, kata novel tidak diserap karena merujuk ‘jenis baru’ dari virus corona.
Meskipun pola penyerapan sudah benar, muncul persoalan baru pada bentuk kata corona. Bahasa Indonesia memuat konsep yang sama untuk pelafalan dan penulisan. Penyerapan huruf dari bahasa asing harus disesuaikan dengan huruf dalam bahasa Indonesia. Huruf /c/ di depan a, u, o pada bahasa asing menjadi huruf /k/ dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penulisan yang benar ialah korona. Penyerapan tersebut sudah diberlakukan untuk kata coin menjadi koin, computer menjadi komputer, dan cable menjadi kabel.
Penyerapan corona menjadi korona kemudian tidak semudah penyerapan kata coin, computer, dan cable. Kata koin, kabel, dan komputer tidak memiliki kesamaan bentuk dengan kata lain dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, kata korona sudah lebih dulu ada dalam bahasa Indonesia, yakni 1. n. lingkaran atau cincin cahaya yang tampak di sekeliling benda langit, terjadi karena penyebaran cahaya dari materi partikulat tersuspensi atau debu; 2. n. lingkaran sinar yang mengelilingi matahari; bagian terluar atmosfer matahari (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).
Kata korona ini dapat dinyatakan sebagai bentuk homonim. Homonim merupakan kata yang sama lafal dan ejaan, tetapi berbeda makna karena berasal dari sumber yang berlainan (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Jika kelak masyarakat terbiasa menggunakan kata korona tanpa didampingi oleh kata virus, seperti “Dia meninggal akibat korona”, kata korona dapat dianggap sebagai bentuk homonim. Kata korona pun dapat diusulkan menjadi kata serapan dan dapat dimasukkan sebagai lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Ada beberapa faktor yang mendukung hal tersebut. Pertama, kata korona merupakan kata yang unik karena makna kata tersebut belum ada dalam bahasa Indonesia. Definisi kedua dari korona ialah jenis virus baru corona yang muncul tahun 2019 dan dapat menyebabkan kematian akibat batuk dan pilek karena memicu radang paru-paru. Definisi ini hanya tawaran saja dan dapat disempurnakan pada Kongres Bahasa Indonesia, khususnya dalam rangka memasukkan sebuah kata menjadi lema dalam KBBI.
Selanjutnya, kata korona dapat diidentifikasi sebagai kata benda karena menurut Kridalaksana (2007), sebuah kata dikatakan sebagai kata benda jika dapat diingkarkan dengan kata bukan. Pada kalimat, “Bukan korona penyebab kematiannya” menjadi kalimat yang berterima sehingga kata korona bisa masuk ke dalam bahasa Indonesia sebagai kelas kata benda.
Kedua, kata korona termasuk eufonik atau sedap didengar. Kata tersebut sudah sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Perubahan bunyi [c] menjadi [k] merupakan upaya untuk menyesuaikan dengan bunyi dalam bahasa Indonesia.
Ketiga, kata tersebut dapat membentuk kata lain dengan
kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Kata korona dapat
dibentuk melalui proses pemajemukan sehingga dapat menghasilkan
kata majemuk virus korona.
Keempat, tidak berkonotasi negatif sehingga diterima
oleh pengguna bahasa Indonesia.
Kelima, kerap dipakai. Tolok ukur kerap dipakai ialah frekuensi (frequence) atau selalu dipakai dan julat (range) atau tersebar secara luas. Frasa virus korona sudah sering digunakan saat ini dan diprediksikan akan sering digunakan beberapa waktu ke depan; serta sudah tersebar secara luas di seluruh Indonesia.
Kelima faktor tersebut menunjukkan bahwa kata korona memenuhi syarat untuk dimasukkan sebagai lema dalam KBBI. Untuk mendukung pembakuan kata tersebut, pengguna bahasa, seperti wartawan, penulis, dan pengguna aktif media sosial diharapkan menggunakan bentuk yang sesuai dengan kaidah. Penggunaan kata yang tidak sesuai kaidah akan berakibat buruk pada perkembangan kata itu sendiri.
Generasi berikutnya akan menjadikan bentuk tersebut sebagai pedoman sehingga kesalahan penggunaan kata pun akan meregenerasi. Pengguna bahasa Indonesia memang harus selektif, terutama dalam mengindonesiakan kata dari bahasa asing. Kata dari bahasa asing yang diserap diharapkan memperkaya bahasa Indonesia dengan tidak mengabaikan kaidah bahasa Indonesia itu sendiri. (*)