Kata Kita

Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.

Editor Bahasa Indonesia di Media Massa

Oleh Ria Febrina*

Wartawan salah tulis, salah siapa? Ini pertanyaan mirip buah simalakama. Menyalahkan wartawan tidak bisa juga karena ada editor dan redaktur yang seharusnya cermat membaca dan memperbaiki kesalahan tulis para wartawan. Menyalahkan editor juga tidak bisa karena kecenderungan para editor di media massa bukan merupakan lulusan bahasa Indonesia.

Di salah satu media online Indonesia misalnya, ditemukan kesalahan penulisan suku Minangkabau. Pada isi berita, ditulis Miangkabau. Meskipun suku bangsa Minangkabau sudah populer di Indonesia dan masyarakat bisa merujuk pada suku bangsa tersebut, kesalahan penulisan tetap tidak bisa dibenarkan. Kata miang dan kata kabau memiliki makna tertentu.

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2016), miang adalah bulu halus pada tumbuhan, seperti pada rebung, bambu, dan sebagainya, biasanya menimbulkan rasa gatal; sedangkan kabau 'kerbau' adalah binatang memamah biak yang biasa diternakkan untuk diambil dagingnya atau untuk dipekerjakan (membajak, menarik pedati), rupanya seperti lembu dan agak besar, tanduknya panjang, suka berkubang, umumnya berbulu kelabu kehitam-hitaman. Gabungan kata Miangkabau tentu dapat dimaknai sebagai suku sebagaimana kerbau yang gatal, suku yang gatal sebagaimana kerbau, atau makna lainnya yang berkonotasi negatif.

Bagi masyarakat Minangkabau, kata Miangkabau ini dapat merendahkan harga diri. Filosofi Minangkabau tidak bisa disamakan dengan filosofi Miangkabau. Dalam kreativitas berbahasa, bentuk turunan Minangkabau boleh ada asalkan bertujuan untuk mendukung visi tertentu. Misalnya, bentuk Manang Kabau ada sebagai salah satu merek di Kota Padang. Merek tersebut bersifat komersial untuk memancing wisatawan menikmati kuliner mereka. Turunan bentuk Manang Kabau bermakna positif, sedangkan turunan bentuk Miangkabau jelas bermakna negatif.

Salah tulis pada media untunglah tidak menyebabkan masyarakat Minangkabau menuntut wartawan tersebut karena sudah mencemarkan nama baik suku bangsa mereka. Begitu juga dengan salah tulis terkait penulisan gelar akademis. Di sejumlah media, terdapat ketentuan bahwa penulisan gelar akademis dihapuskan pada opini, esai, atau feature yang dikirim oleh masyarakat. Namun, sejumlah media lain tetap menuliskan gelar akademis tersebut.

Media cetak misalnya, beberapa tahun belakangan intensif melakukan kerja sama dengan sekolah atau perguruan tinggi. Sejumlah guru dan dosen diajak menulis secara rutin di kolom yang disediakan, seperti kolom guru menulis.

Guru dan dosen yang menulis di media massa memiliki latar pendidikan tinggi dengan gelar sarjana, magister, atau doktor sehingga mereka cenderung menuliskan gelar tersebut. Gelar yang dimiliki pun beragam. Pada tingkat S-1, ada (dr.), (Dra.), (Drs.), (S.H.), (S.Kom.), (S.Pd.), (S.T.), dan (S.Si.). Pada tingkat S-2, ada (M.Hum.), (M.H.), (M.E.), dan (M.Psi.). Pada tingkat S-3, ada (Dr.). Namun, kaidah penulisan singkatan tersebut justru berbeda dengan kaidah penulisan yang ditetapkan di media massa.

Dalam UU No. 50 Tahun 2015 mengenai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), dinyatakan bahwa singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik pada setiap unsur singkatan itu. Namun, pada sejumlah media penulisan tanda titik pada setiap unsur singkatan nama gelar justru dihapuskan.

Bentuk (dr.) ditulis menjadi (dr), bentuk (Dra.) ditulis menjadi (Dra), bentuk (Drs.) ditulis menjadi (Drs), bentuk (S.H.) ditulis menjadi (SH), bentuk (S.Kom.) ditulis menjadi (S.Kom), bentuk (S.Pd.) ditulis menjadi (S.Pd), bentuk (S.T.) ditulis menjadi (ST), bentuk (S.Si.) ditulis menjadi (S.Si), bentuk (M.Hum.) ditulis menjadi (M.Hum), bentuk (M.H.) ditulis menjadi (MH), bentuk (M.E.) ditulis menjadi (ME), bentuk (M.Psi.) ditulis menjadi (M.Psi), dan bentuk (Dr.) ditulis (Dr) atau bahkan (DR).

Wartawan/redaktur menetapkan penulisan gelar tersebut karena (1) kurang paham dengan penulisan singkatan yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dan (2) tidak mengecek penulisan yang benar sesuai dengan PUEBI. Padahal, dalam dunia jurnalistik, kamus dan PUEBI wajib dimiliki wartawan. Ada wartawan pasti ada kamus dan PUEBI. Mereka harus mengecek kesesuaian tulisan dengan kaidah.

Bagi media tertentu, agar tidak salah menuliskan gelar akademis, dipilih ketentuan selingkung bahwa gelar ditiadakan. Oleh karena itu, nama Rektor Universitas Andalas, Prof. Dr. H. Yuliandri, M.H. dapat ditulis dengan Rektor Universitas Andalas, Yuliandri. Cara ini sudah diterapkan oleh wartawan pada sejumlah media. Misalnya, nama Presiden RI ditulis Jokowi (singkatan dari Joko Widodo) atau nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ditulis Nadiem Makarim saja.

Kamus dan PUEBI (dulu EYD) merupakan dua hal wajib yang dimiliki oleh seorang wartawan. Jika wartawan mengabaikan hal ini, kesalahan penulisan akan terus berulang. Kesalahan tersebut akan berdampak buruk bagi penulis dari kalangan guru atau dosen, terkhusus bagi guru atau dosen bahasa Indonesia. Ketika tulisan mereka di media massa dibaca oleh mahasiswa atau kolega dan ternyata memuat kesalahan tulis, tanggung jawab moral sebagai ahli bahasa Indonesia pun akan menjadi beban. Tidak mungkin menjelaskan satu per satu mengenai proses pengeditan yang tidak cermat dan kebijakan media massa yang tidak tepat kepada setiap orang.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa media massa membutuhkan editor bahasa yang menamatkan pendidikan di bidang bahasa. Kepekaan lulusan bahasa Indonesia lebih tinggi dibandingkan kepekaan lulusan nonbahasa. Hal ini disebabkan oleh mata kuliah yang dipelajari di kampus berhubungan dengan tata bahasa dan kaidah bahasa Indonesia.

Sebagai tolok ukur kelayakan lulusan bahasa Indonesia bekerja menjadi editor bahasa, mereka diwajibkan memiliki Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) untuk profesi editor. Jika lulusan kedokteran memiliki legalisasi melalui profesi dokter, lulusan farmasi memiliki legalisasi melalui profesi apoteker, lulusan sarjana teknik memiliki legalisasi melalui profesi insinyur, lulusan bahasa dan sastra Indonesia juga harus memiliki legalisasi melalui profesi editor.

Di samping itu, mereka tentunya harus mencapai peringkat unggul dalam Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang ditetapkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia. Hal ini setara dengan skor TOEFL tertentu, seperti di atas 500 untuk lulusan sastra Inggris.

Peluang dan Tantangan Editor Bahasa

Menjadi editor bahasa merupakan jawaban untuk pertanyaan calon mahasiswa bahasa Indonesia. Akan menjadi apakah mereka jika lulus dari Jurusan Sastra Indonesia nanti? Editor bahasa tidak hanya bekerja di media massa, tetapi juga bisa bekerja di percetakan, di penerbitan, di kantor pemerintahan, dan juga di berbagai profesi yang berhubungan dengan surat-menyurat atau tulis-menulis.

Namun, menjadi editor bahasa tidak semudah cita-cita menjadi dokter. Dokter dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan secara langsung penyakit melalui obat yang diresepkan. Akan tetapi, editor bahasa tidak bisa serta merta langsung memperbaiki dan mengubah kemampuan bahasa Indonesia masyarakat.

Di Indonesia tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi editor sangat rendah karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bahasa Indonesia juga rendah. Masyarakat cenderung memilih menggunakan bahasa asing dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia untuk mengungkapkan gagasan.

Ketika membutuhkan satu kata dalam bahasa Indonesia untuk menyampaikan gagasan tertentu, pengguna bahasa Indonesia justru nyaman dengan menyebutkan dalam bahasa asing. Misalnya pada dialog, "Bukan penindasan, tetapi bullying, apa ya istilahnya dalam bahasa Indonesia?" Kalimat tersebut-sadar atau tidak-mulai banyak dilafalkan pengguna bahasa Indonesia karena mereka justru akrab dengan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia itu sendiri. Padahal, bahasa Indonesia sudah memiliki kata khusus untuk mewakili gagasan mereka.

Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu cara dilakukan dengan menghadirkan editor bahasa di media massa. Kehadiran editor tidak hanya untuk mengedit berita yang ditulis wartawan, tetapi juga membekali wartawan secara rutin mengenai kaidah penulisan bahasa Indonesia. Editor bahasa dapat berpijak dari contoh penulisan yang salah pada berita yang ditulis wartawan untuk menunjukkan penulisan yang benar.

Dengan bimbingan secara kontiniu tersebut, diharapkan kesalahan wartawan dalam menulis akan berkurang. Penulisan bahasa Indonesia di media diharapkan akan menjadi baik dan sesuai dengan kaidah. Sebagaimana lagu yang didendangkan oleh Nasida Ria, wartawan adalah ratu dunia. Wartawan menjadi panutan dalam menulis dan pedoman dalam memahami kebenaran.

*Artikel ini sudah dimuat di Klik Positif.com. Silakan kunjungi jugahttps://klikpositif.com/opini/5/ria-febrina-editor-bahasa-indonesia-di-media-massa.html

*Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas

Kirim Komentar


Kata Kita lainnya

Imbuhan Serapan Asing: --man, -wan, dan --wati

Artikel 05-06-2023 14:20 WIB

Selain membaca buku, membaca berita juga menjadi salah satu kebiasaan saya. Saya sering kali mengisi waktu luang dengan membaca berita. Selama beberapa hari ini, saya membaca berita di surat kabar daring. Saya sering menemukan kosakata yang berakhiran dengan “man, -wan, dan “wati....

Oleh Yori Leo Saputra - Pustakawan SMA Negeri 1 Ranah Pesisir


Istilah "Deskriptif" dan "Preskriptif" dalam Ilmu Bahasa

Artikel 31-05-2023 12:51 WIB

Mengapa kata X tidak ada dalam kamus, padahal sudah banyak dipakaiPara pengajar dan peneliti bahasa pasti pernah mendengar kalimat ini. Untuk menjawabnya, kita bisa pakai analogi munculnya sebuah penyakit. Seseorang bisa saja tiba-tiba terkena penyakit yang belum ada sebelumnya. Bahasa pun bisa...

Oleh Ria Febrina, S.S., M.Hum. - Dosen Linguistik Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas


Kependekan dalam Bahasa Indonesia

Artikel 30-05-2023 11:53 WIB

Sobat Eja pernah tidak mendengar kata gercep, KKN, dan FISIP Ketiga kata tersebut merupakan bentuk kependekan. Gercep merupakan kependekan dari gerak cepat, KKN merupakan kependekan dari Kuliah Kerja Nyata, dan FISIP merupakan kependekan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kependekan...

Oleh Husni Mardhyatur Rahmi, S.Hum. - Redaktur Bahasa


Bukan "Busway", tetapi Bus

Artikel 27-05-2023 13:08 WIB

Di Kota Jakarta, seringkali kita mendengar kata busway. Umumnya, kata busway merujuk pada moda angkutan umum, bus Transjakarta. Padahal kata busway bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ˜jalur bus™. Lalu, mengapa kata busway lebih melekat di benak masyarakat, ketimbang sebutan...

Oleh Nabilla Hanifah Suci R. - Redaktur Bahasa Ejaan.id


Sufiks Serapan dari Bahasa Arab

Artikel 25-05-2023 12:37 WIB

Sufiks merupakan salah satu jenis afiks dalam bahasa Indonesia. Jenis afiks ini memiliki tanda hubung di depannya. Secara bahasa, sufiks diartikan sebagai afiks yang ditambah pada bagian belakang pangkal (Kridalaksana, 2011: 230). Contoh sufiks, yaitu “an pada kata ajaran, -i...

Oleh Yori Leo Saputra - Pustakawan SMA Negeri 1 Ranah Pesisir