Kata Kita
Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Penggunaan Ejaan van Ophuijsen pada Novel Belenggu Karya Armijn Pane
Oleh Andina Meutia Hawa*
Apa itu Ejaan van Ophuijsen? Sebelum membicarakannya, mari kita bahas tentang ejaan. Chaer (2002) mengatakan, ejaan merupakan aturan cara penulisan kata, kalimat, dan tanda baca. Dalam KBBI Daring VI (2023), ejaan mencakup sejumlah kaidah tentang cara penulisan bahasa dengan menggunakan huruf, kata, kalimat, hingga penggunaan tanda baca secara keseluruhan. Dengan kata lain, ejaan adalah aturan yang harus dipahami dan dipatuhi agar tercapai keteraturan dan keseragaman dalam berbahasa.
Sebelum menggunakan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD V), ejaan bahasa Indonesia mengalami sejarah yang panjang. Ejaan pertama yang digunakan adalah Ejaan van Ophuijsen. Hal ini digagas oleh Charles van Ophuijsen, seorang ahli bahasa berkewarganegaraan Belanda yang lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia mendirikan ejaan ini pada 1901 bersama dua orang ahli bahasa Melayu lainnya. Prinsipnya, Ejaan van Ophuijsen menuliskan kata-kata bahasa Melayu menggunakan huruf Latin dan dilafalkan dengan cara bertutur dalam bahasa Belanda.
Ejaan van Ophuijsen digunakan selama 46 tahun. Selanjutnya, ejaan bahasa Indonesia terus berkembang dan berubah sebanyak enam kali. Ejaan Soewandi digunakan dari tahun 1946—1947 menggantikan Ejaan van Ophuijsen, kemudian digunakan Ejaan Pembaharuan (1956—1961), Ejaan Melindo (1961—1967), Ejaan Baru (1967—1972), Ejaan yang Disempurnakan (1972—2015), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2015—2022), dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (2022—sekarang). Perubahan ejaan terjadi seiring dengan perkembangan zaman sehingga terjadi perubahan makna dalam kata-kata dan disesuaikan dengan kebutuhan penutur bahasa.
Dalam Kitab Logat Melajoe Woordenlystvoor De Spelling Der Maleische Taal Met Laynsche Karakter, van Ophuijsen menerangkan bahwa dalam tatanan bahasa tulisan formal, masyarakat sudah mengenal rangkaian huruf dalam bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Kekhasan penulisan yang ditemukan dalam ejaan ini di antaranya adalah penggunaan tanda diakritik atau tanda trema, seperti pada kata permulaäan (permulaan), tanda bunyi ‘ain seperti pada kata ma’lum (maklum) dan ra’jat (rakyat) (Ali, 1998).
Penggunaan Ejaan van Ophuijsen tak ayal merambah ke dunia sastra. Hal ini ditandai dengan pendirian penerbitan Balai Pustaka pada 1917 oleh pemerintah Belanda. Balai Pustaka telah menerbitkan banyak karya sastra terkenal, di antaranya Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana. Kemunculan karya-karya sastra Angkatan Balai Pustaka ditandai dengan penggunaan bahasa Melayu Tinggi disebabkan adanya pembatasan pemerintah Belanda terhadap karya-karya penulis Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Selanjutnya, muncul Angkatan Pujangga Baru menggantikan angkatan sebelumnya. Munculnya angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah Poedjangga Baroe (Ejaan van Ophuijsen) pada Juli 1933 oleh Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Pendirian majalah ini dilandasi oleh semangat nasionalisme serta keinginan untuk memisahkan diri dari pengaruh pemerintah Belanda. Karya-karya yang muncul pada Angkatan Pujangga Baru hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, serta adanya keinginan untuk mengembangkan bahasa Indonesia. Tema-tema karya sastra pada Angkatan Pujangga Baru banyak mengedepankan identitas nasional dan gaya hidup modern cenderung kebarat-baratan sehingga tema-tema lama, seperti kawin paksa, pertentangan antara kaum tua dengan kaum muda tidak muncul lagi.
Salah satu karya sastra yang muncul pada Angkatan Pujangga Baru adalah novel Belenggu karya Armijn Pane. Belenggu mengisahkan tentang kehidupan sepasang suami istri Tono dan Tini yang tidak bahagia. Tono adalah seorang dokter lulusan sekolah Belanda, sedangkan Tini merupakan perempuan modern yang sibuk dengan kegiatannya di luar rumah. Novel ini terbit tahun 1940 saat Ejaan van Ophuijsen masih digunakan. Beberapa penulisan Ejaan van Ophuijsen pada novel Belenggu diperlihatkan melalui contoh-contoh berikut.
Penggunaan preposisi di yang digabung dengan kata selanjutnya, seperti pada kata diatas, dibelakang, dihadapan, disandaran, disampingnya, dan didalamnya. Dalam KBBI Daring Edisi VI (2023), preposisi di memiliki makna ‘kata depan untuk menandai tempat.’ Penggunaan preposisi di yang digabung ini tentu tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia saat ini. Untuk menyatakan tempat, preposisi di harus dipisah dengan kata yang mengikutinya, seperti di atas, di belakang, di hadapan, di sandaran, di sampingnya, di dalamnya. Dalam bahasa Indonesia, di- yang diikuti oleh kata kerja berfungsi sebagai afiks (prefiks). Prefiks adalah imbuhan yang diletakkan di awal atau depan sebuah kata dasar, dan harus diikuti dengan kata kerja, seperti pada kata dimakan, diminum, dan dibayar.
Ciri lain Ejaan van Ophuijsen adalah penggunaan tanda ê pepet atau e lemah yang dituliskan dan dilafalkan seperti huruf e terbalik (ə) seperti pada kata isteri. Penulisan kata isteri tidak sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan termasuk kata tidak baku. Bentuk baku dari kata isteri adalah istri.
Selanjutnya, penulisan bilangan dengan menyebut kata ‘nomor’ yang dalam novel Belenggu di tulis nomor 45. Dalam KBBI Daring VI (2023), nomor didefinisikan sebagai tanda atau lambang bilangan. Sebagai kata benda, kata nomor ditulis dengan huruf kecil apabila ada kata lain yang mengikutinya seperti nomor telepon, nomor rumah, dan sebagainya. Apabila setelah kata nomor diikuti oleh angka, huruf n pada kata nomor harus ditulis dengan huruf kapital, menjadi Nomor 45.
Dalam novel Belenggu juga terdapat kekeliruan pada penulisan partikel pun yang digabung dengan kata sebelumnya seperti pada kata angan-angankupun. Alwi, dkk. dalam Saputra (2023), menulis bahwa penggabungan maupun pemisahan partikel pun dalam sebuah kata tergantung pada konteksnya. Pun ditulis serangkai apabila kata tersebut berfungsi sebagai kata penghubung (konjungsi) seperti pada kata apapun, walaupun, dan meskipun. Partikel pun dapat dipisah apabila bermakna ‘juga.’ Jika merujuk pada kaidah EYD (2022), penggunaan partikel pun pada kata angan-angankupun seharusnya ditulis angan-anganku pun.
Terakhir, dalam novel Belenggu ditemukan kata-kata serapan dalam bahasa Belanda, seperti pada kata sigaret yang secara etimologi berasal dari bahasa Prancis cigarette (dalam bahasa Belanda adalah sigaar atau sigaartje), yang artinya rokok atau cerutu. Kata sigaret telah diadopsi menjadi kata bahasa Indonesia dan termasuk dalam kata baku. Kemudian, ada kata adres yang dalam kata bahasa Inggris ditulis sebagai address, artinya alamat. Kata alamat lebih lazim digunakan penutur bahasa Indonesia untuk menyatakan tempat tinggal seseorang. Selanjutnya, terdapat kata-kata serapan seperti assitent, stethoscoop, recept yang sudah mengalami penyesuaian dan menjadi bagian dari tatanan kata bahasa Indonesia, yaitu asisten, stetoskop, dan resep. Dengan demikian, mempelajari ejaan dan karya sastra Indonesia tidak hanya dapat memperkaya kosakata kita, tetapi juga menambah pengetahuan tentang sejarah bahasa dan kesusasteraan Indonesia.