Kata Kita

Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.

Tanda Hubung: Penghubung Dua Unsur

Oleh Ria Febrina, S.S., M.Hum.*

Ria Febrina, S.S., M.Hum. - Dosen Linguistik Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas

Siapa yang tidak kenal dengan istilah Covid-19? Covid-19 merupakan istilah yang mulai populer sejak tahun 2020, khususnya semenjak WHO menetapkan nama tersebut dipakai secara resmi pada 11 Februari 2020 lalu untuk penyakit yang bernama novel coronavirus (2019-nCoV). Bentuk covid merupakan akronim dari corona virus disease dan 19 merupakan penggalan dari 2019.

Akronim merupakan proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata (Kridalaksana, 2007: 162). Akronim covid terbentuk dengan cara pengekalan suku pertama dari komponen pertama dan komponen kedua, serta pengekalan huruf pertama pada komponen ketiga. Sementara itu, bentuk 19 merupakan penggalan dari tahun 2019.

Dalam penulisan kaidah bahasa Indonesia, menghubungkan dua unsur yang berbeda, seperti kata covid dan angka 19, digunakan tanda hubung (-). Hal ini tertuang pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) bahwa tanda hubung dapat dipakai untuk merangkai huruf dan angka (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia, 2016: 48). Berdasarkan hal tersebut, diperoleh bentuk Covid-19. Sementara itu, penulisan akronim ini menggunakan huruf kapital karena Covid-19 merupakan nama sebuah penyakit.

Penggunaan tanda hubung pada Covid-19 menjadi hal yang baik dalam sejarah pembentukan istilah bahasa Indonesia. Bentuk tersebut memang bukan istilah bahasa Indonesia, namun istilah tersebut sudah berlaku secara umum di seluruh dunia, khususnya di seluruh negara yang merasakan dampak Covid-19. Dengan demikian, negara Indonesia juga menyerap nama Covid-19 sebagai nama penyakit yang sedang menjadi pandemi saat ini.

Penulisan Covid-19 yang sudah benar ini berbanding terbalik dengan penulisan singkatan D3, D4, S1, S2, dan S3 yang hampir merata ditulis salah oleh masyarakat Indonesia. Padahal, pada PUEBI dijelaskan bahwa tanda hubung dipakai untuk merangkai huruf dan angka. Penulisan yang seharusnya dipakai ialah D-3, D-4, S-1, S-2, dan S-3.

Masyarakat Indonesia memang tidak terbiasa menggunakan tanda hubung untuk merangkai huruf dan angka. Untuk penulisan ucapan selamat atas kelahiran, pernikahan, atau perayaan tertentu, seperti ulang tahun ke-17 dan perayaan pernikahan ke-25, ditulis tanpa menggunakan tanda hubung menjadi ulang tahun ke 17 dan perayaan pernikahan ke 25.

Penulisan yang salah ini ramai menghiasi media sosial. Padahal, di mesin pencari Google, ketika diketik HUT ke, Google memandu pencari menemukan pranala yang memuat penulisan yang benar, seperti HUT ke menjadi HUT ke- dan ulang tahun ke menjadi ulang tahun ke-. Akan tetapi, pada saat perayaan HUT RI, di berbagai spanduk atau baliho yang mengusung nama pemerintah, masih saja ditemukan kesalahan penulisan tanda hubung ini. Masih ada yang menulis HUT RI ke 75, padahal penulisan yang benar ialah HUT RI ke-75.

Begitu juga dengan kaidah dalam merangkai angka dengan akhiran --an, juga ada yang salah karena tidak menggunakan tanda hubung. Banyak masyarakat yang menulis 1950an atau sekitar 2000an, padahal penulisan yang benar ialah 1950-an atau sekitar 2000-an.

Tidak hanya dalam merangkai huruf dan angka, masyarakat Indonesia juga ada yang keliru dalam merangkai kata dengan kata ganti Tuhan. Kata ganti Tuhan harus dimulai dengan menggunakan huruf kapital, seperti --Ku, --Mu, dan --Nya. Dengan demikian, bentuk penulisan yang benar ialah rahmat-Mu dan karunia-Nya. Pada penulisan puisi pun, jika seseorang menulis dengan sudut pandang Aku sebagai Tuhan, penulisan yang benar ialah nikmat-Ku yang merujuk pada nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada umat-Nya. Akan tetapi, fenomena penulisan dalam merangkai kata dengan kata ganti Tuhan juga menjadi sebuah dilema.

Pertama, ada yang tidak mampu membedakan bahwa penulisan kata ganti --ku, --mu, --nya dengan kata ganti --Ku, --Mu, dan --Nya itu berbeda. Ketidakmampuan membedakan menyebabkan mereka tumpang tindih dalam menggunakan bentuk tersebut. Ada yang menulis kata ganti Tuhan menggunakan huruf kecil, seperti rahmatmu Tuhan dan karunianya kepada kita semua dan kata ganti untuk manusia menggunakan huruf kapital, seperti cintaNya kepada saya begitu besar. Jika dilihat konteks penulisan Nya pada cintaNya tersebut tidak merujuk pada cinta Tuhan kepada umat-Nya, tetapi cinta sesama manusia. Penulisan ini tentu saja salah.

Kedua, di samping ketidakmampuan membedakan penulisan kata ganti tersebut, ada juga masyarakat yang tidak mengetahui bahwa kata ganti Tuhan ketika digabungkan dengan kata dasar harus mendapatkan tanda hubung (-). Dengan demikian, masih banyak yang menulis rahmat Mu atau rahmatMu, serta karunia Nya atau karuniaNya. Bentuk tersebut salah karena terdapat dua unsur yang berbeda, yaitu kata dan kata ganti Tuhan. Penulisan yang benar ialah rahmat-Mu dan karunia-Nya.

Kesalahan merangkai dua unsur yang berbeda ini juga dilakukan oleh sebagian masyarakat dalam merangkai bentuk terikat se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, seperti se-Indonesia atau se-Sumatera Barat. Pada spanduk acara yang ada, ditemukan bentuk penulisan se Indonesia atau se Sumatera Barat. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut.

(1) Lomba Cerita Pendek Tingkat Siswa SMA se Indonesia
(2) Lomba Berbalas Pantun Tingkat Mahasiswa se Sumatera Barat

Penulisan yang benar untuk bentuk tersebut ialah sebagai berikut.
(1a) Lomba Cerita Pendek Tingkat Siswa SMA se-Indonesia
(2a) Lomba Berbalas Pantun Tingkat Mahasiswa se-Sumatera Barat

Dengan kompleksitas kesalahan tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat juga banyak yang salah dalam menggunakan tanda hubung yang seharusnya digunakan untuk (1) menghubungkan unsur kata yang terpisah oleh pergantian baris dan (2) memisahkan bentuk ulang.

Ketika seseorang menulis menggunakan tulisan tangan, kata-kata yang ditulis pada sebuah baris tidak selalu mencukupi. Ada kata yang harus dipenggal sehingga sebagian kata ada pada baris atas dan sebagian lain ada pada baris bawah. Unsur penentu untuk memisahkan kata tersebut ialah suku kata. Untuk memisahkan kata membaca, dapat dilakukan dengan menulis mem- (pada baris atas) dan baca (pada baris bawah) atau memba- (pada baris atas) dan ca (pada baris bawah). Ketika memenggal kata menjadi beberapa suku kata tersebut, digunakan tanda hubung (-).

Meskipun sudah dijelaskan sejak sekolah dasar, pemenggalan kata berdasarkan suku kata ini juga banyak salah dilakukan masyarakat. Bahkan, ada masyarakat yang secara acak memenggal kata menjadi m-embaca, me-mbaca, memb-aca, membac-a yang tentu saja menjadi pemenggalan yang salah.

Kesalahan tersebut juga terjadi pada penulisan unsur kata ulang. Masyarakat Indonesia terkadang secara sadar menulis unsur kata ulang tanpa menggunakan tanda hubung. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, dijelaskan bahwa tanda hubung merupakan tanda garis (-) untuk memisahkan bentuk ulang. Penulisan anak-anak dan rumah-rumah merupakan bentuk penulisan untuk kata ulang utuh, sedangkan bermain-main dan berlari-lari merupakan bentuk penulisan untuk kata ulang sebagian. Di media sosial, seperti Instagram atau Facebook, ada yang menulis rumah rumah dan bermain main. Padahal, bentuk tersebut salah.

Dengan demikian, memang perlu mengenal lebih dekat mengenai penulisan tanda hubung (-) dalam bahasa Indonesia. Kesalahan yang dilakukan secara berkesinambungan, apalagi pada media digital, dapat memicu kesalahan yang meregenerasi dari waktu ke waktu. Tentu menjadi hal buruk jika pada suatu masa, sekelompok orang atau satu generasi mempedomani penulisan yang salah menjadi penulisan yang benar. Salah satu cara untuk memutus mata rantai tersebut ialah beramai-ramai kembali menuliskan tanda hubung yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.

*Tulisan ini sudah dimuat di Scientia.id. Silakan lihat juga melalui https://scientia.id/2021/01/17/tanda-hubung-penghubung-dua-unsur/ .

*Dosen Linguistik Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas

Kirim Komentar


Kata Kita lainnya

Imbuhan Serapan Asing: --man, -wan, dan --wati

Artikel 05-06-2023 14:20 WIB

Selain membaca buku, membaca berita juga menjadi salah satu kebiasaan saya. Saya sering kali mengisi waktu luang dengan membaca berita. Selama beberapa hari ini, saya membaca berita di surat kabar daring. Saya sering menemukan kosakata yang berakhiran dengan “man, -wan, dan “wati....

Oleh Yori Leo Saputra - Pustakawan SMA Negeri 1 Ranah Pesisir


Istilah "Deskriptif" dan "Preskriptif" dalam Ilmu Bahasa

Artikel 31-05-2023 12:51 WIB

Mengapa kata X tidak ada dalam kamus, padahal sudah banyak dipakaiPara pengajar dan peneliti bahasa pasti pernah mendengar kalimat ini. Untuk menjawabnya, kita bisa pakai analogi munculnya sebuah penyakit. Seseorang bisa saja tiba-tiba terkena penyakit yang belum ada sebelumnya. Bahasa pun bisa...

Oleh Ria Febrina, S.S., M.Hum. - Dosen Linguistik Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas


Kependekan dalam Bahasa Indonesia

Artikel 30-05-2023 11:53 WIB

Sobat Eja pernah tidak mendengar kata gercep, KKN, dan FISIP Ketiga kata tersebut merupakan bentuk kependekan. Gercep merupakan kependekan dari gerak cepat, KKN merupakan kependekan dari Kuliah Kerja Nyata, dan FISIP merupakan kependekan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kependekan...

Oleh Husni Mardhyatur Rahmi, S.Hum. - Redaktur Bahasa


Bukan "Busway", tetapi Bus

Artikel 27-05-2023 13:08 WIB

Di Kota Jakarta, seringkali kita mendengar kata busway. Umumnya, kata busway merujuk pada moda angkutan umum, bus Transjakarta. Padahal kata busway bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ˜jalur bus™. Lalu, mengapa kata busway lebih melekat di benak masyarakat, ketimbang sebutan...

Oleh Nabilla Hanifah Suci R. - Redaktur Bahasa Ejaan.id


Sufiks Serapan dari Bahasa Arab

Artikel 25-05-2023 12:37 WIB

Sufiks merupakan salah satu jenis afiks dalam bahasa Indonesia. Jenis afiks ini memiliki tanda hubung di depannya. Secara bahasa, sufiks diartikan sebagai afiks yang ditambah pada bagian belakang pangkal (Kridalaksana, 2011: 230). Contoh sufiks, yaitu “an pada kata ajaran, -i...

Oleh Yori Leo Saputra - Pustakawan SMA Negeri 1 Ranah Pesisir