Kata Kita
Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Dampak Penggunaan Frasa Jaga Jarak
Oleh Ria Febrina, S.S., M.Hum.*
Frasa jaga jarak menjadi frasa yang akan sering didengar saat ini hingga nanti, terutama sejak adaptasi kebiasaan baru (new normal). Frasa ini akan dilafalkan oleh masyarakat jika beberapa orang membentuk kerumunan tanpa mengatur protokol kesehatan, seperti menjaga jarak minimal 1 meter.
"Harap jaga jarak!" Itulah kalimat yang akan dilafalkan oleh siapa pun untuk menjaga diri dari penularan covid-19.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, katajaga memiliki makna sebagaiberkawal atau bertugas menjaga keselamatandan keamanan; katajarak memiliki makna sebagairuang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau dua tempat. Dengan demikian, frasajaga jarak ditujukan untuk menjaga keselamatan diri dengan cara mengatur jarak ketika berkumpul bersama orang lain.
Frasajaga jarak ini bukanlah frasa yang baru didengar. Frasa ini dulu dituliskan di belakang truk muatan barang. Truk muatan barang yang dikendalikan dengan kecepatan rendah, namun memuat kapasitas yang berlebih, rentan mengalami kecelakaan di tengah jalan. Truk sering oleng saat berada di perbelokan yang curam, juga ketika berada di jalan raya yang datar karena muatan yang melebihi kapasitas.
Selama ini, frasajaga jarak digunakan untuk benda. Namun, sejak pandemi covid-19, frasajaga jarak juga diberlakukan untuk orang. Frasajaga jarak digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar tidak rentan tertular virus. Jarak yang berdekatan antara satu orang dengan orang lain memudahkan penyebaran virus melalui cairan mulut dan sentuhan tangan. Dengan demikian, frasajaga jarak sudah mengubah kebudayaan masyarakat Indonesia yang dikenal dengan keramahtamahan dan penuh keakraban melalui jabatan tangan, rangkulan, atau tepukan pada bahu menjadi jaga jarak tanpa aktivitas tersebut. Bahkan, berbicara dengan jarak 1-2meter saat ini dianggap perilaku benar. Hal ini bertolak belakang dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada bahwa berbicara berjauhan dianggap tidak sopan dan tidak menghargai lawan bicara.
Sadar atau tidak, sebelum frasajaga jarak ini populer, masyarakat sudah mengubah perilaku mereka secara perlahan dengan menjaga jarak antara satu dengan yang lain. Selama pandemi covid-19,jaga jarak dimaksudkan dengan menjaga jarak secara fisik atau yang awalnya dikenal denganphysical distancing. Frasaphysical distancing ini pun merupakan penolakan terhadap penggunaan frasasosial distancing atau yang dikenal denganjarak sosial. Penolakan ini disebabkan oleh frasa tersebut tidak cocok dengan budaya masyarakat di Indonesia karena memiliki makna menjaga jarak sosial antara satu orang dengan orang lain. Jarak sosial dapat diidentifikasi dengan adanya strata sosial, strata pendidikan, strata kekayaan, atau strata jabatan yang tidak mencerminkan nilai-nilai kebudayaan yang ada selama ini. Sementara itu, di Indonesia masyarakat tidak memandang strata apa pun dari seseorang.
Jika kita kilas balik, sebelum bencana global datang, masyarakat sudah menghadapi "perubahan" akibat penggunaan teknologi. Menurut Badan Bahasa Republik Indonesia, perubahan menunjukkan suatu keadaan telah berubah. Keadaan berubah itu berasal dari perkembangan teknologi yang mengubah kebiasaan masyarakat secara perlahan. Herbert Spencer menyebutkan perubahan secara perlahan itu dengan evolusi. Kata evolusi berasal darievolut(Latin) yang berarti menggulir. Masyarakat menyesuaikan diri untuk bertahan dari sebuah perubahan atau perbedaan kondisi.
Salah satu dampak penyesuaian tersebut ialahsosial distancing atau jarak sosial. Tatap muka tidak lagi menjadi ajang silaturahmi, tetapi dinilai sebagai sebuah kesempatan untuk masuk ke dalam dunia maya. Hal yang utama dari sebuah pertemuan ialah sebuah potret atau dikenal dengan swafoto (selfie) dan foto bersama (wefie). Setelah itu, setiap orang cenderung sibuk dengan gawai masing-masing.
Ini menunjukkan bahwa sebelum pandemi covid-19, sudah terjadisosial distancing atau jarak sosial di antara kelompok masyarakat. Rasa peduli terhadap kehidupan nyata lawan bicara semakin berkurang dan digantikan dengan rasa peduli terhadap dunia maya lawan bicara. Rasa peduli di dunia maya ini kadang hanya untuk membandingkan kehidupandengan dunia nyata sehingga setelah pertemuan itu, orang-orang malas mengadakan tatap muka dan memilih berkomunikasi melalui dunia maya saja. Itu pun tanpa mengutamakan simpati atau keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dan sebagainya) orang lain.
Salah satu wujud nyata ialah ucapan duka ketika seseorang meninggal dunia. Tanpa memedulikan apakah seseorang berada atau tidak dalam grup tersebut, ucapan duka disampaikan secara terbuka, tidak lagi dalam ruang pribadi antara pembicara dan lawan bicara. Lebih pada kondisi "pamer simpati". Jika ada dalam grup itu pun, kini orang-orang sudah beranggapan bahwa ucapan duka sudah mewakili simpati atas duka yang dialami oleh lawan bicara. Padahal, salah satu yang patut dijaga ialah kebiasaan menjenguk atau takziah ke rumah duka. Pada masa dahulu, jarak tidak pernah menjadi pertimbangan. Namun kini, jarak justru menjadi alasan.
Pada kondisi yang sama, masih dalam suasana duka, tulisan lain juga tetap berseliweran dalam grup tersebut menimpali ucapan duka. Bahkan, ada juga diselingi dengan ucapan selamat atas kebahagiaan tertentu. Inilah yang dimaksud dengan sudah adanya jarak sosial atausosial distancing di tengah-tengah masyarakat sebelum pandemi covid-19. Jarak sosial mengubah budaya tenggang rasa, sopan santun, dan ramah tamah menjadi budaya tidak peduli, acuh tak acuh, dan tidak sopan. Namun, perubahan tersebut terjadi di tengah-tengah masyarakat secara perlahan-lahan.
Penggunaan frasasosial distancing pada masa pandemi covid-19 pada awalnya dikhawatirkan akan mempercepat menghilangnya sikap kepedulian di tengah-tengah masyarakat, khususnya pada masalockdown. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan adaptasi kebiasaan baru (new normal). Namun, setelah berada pada masa adaptasi kebiasaan baru ini, ternyata juga tidak menyebabkan jarak sosial menghilang.
Dalam perkembangan ke depan, bukan frasasosial distancing yang perlu dikhawatirkan, tetapi frasajaga jarak itu sendiri. Frasajaga jarak diprediksikan menjadi apologi ketika seseorang ingin menjauh dari orang lain. Sebuah kondisi serius yang perlu disikapi secara bijaksana pada masa depan.
*Tulisan ini sudah dimuat di Scientia.id. Silakan lihat juga melalui https://scientia.id/2020/07/19/dampak-penggunaan-frasa-jaga-jarak/.