Kata Kita
Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Bahasa itu Dinamis
Oleh Husni Mardhyatur Rahmi, S.Hum.*
Bahasa itu dinamis. Bahasa mempunyai sifat yang selalu berubah dan mengalami perkembangan. Bahasa terdiri dari beberapa unsur, mulai dari bunyi sebagai unsur terkecil hingga wacana sebagai unsur terbesar. Setiap unsur tersebut dapat mengalami perkembangan. Hock (1991) menyebutkan bahwa beberapa unsur bahasa dapat mengalami perubahan yang disebut dengan perubahan fonologis, perubahan morfologis, perubahan leksikal, perubahan sintaksis, dan perubahan semantis. Perubahan pada unsur tersebut dikaji dalam ilmu linguistik, khususnya pada bidang linguistik diakronis atau linguistik historis.
Perubahan fonologis adalah perubahan yang terjadi pada aspek fonologis bahasa, baik perubahan pada bunyi, maupun fonem. Cambell (1999) menyatakan bahwa perubahan fonologis merupakan aspek yang menjadi perhatian utama dalam kajian linguistik diakronis. Hal tersebut tak lain karena perubahan yang terjadi secara fonologis, khususnya pada tataran bunyi lebih banyak terjadi. Perubahan fonologis dalam bahasa dapat dilihat dengan cara membandingkan protobahasa dengan bahasa turunannya.
Perubahan fonologis dapat dilihat pada perubahan kata *dilah (* = asteris, penanda bentuk protobahasa) dalam Proto Austronesia berubah menjadi kata lidah dalam bahasa Indonesia. Perubahan ini disebut dengan metatesis, yaitu perubahan bunyi berupa perubahan pada urutan bunyi. Kemudian, perubahan bunyi dapat berupa penghilangan bunyi. Contohnya pada kata *hubi dalam Proto Austronesia berubah menjadi ubi, *baharu menjadi baru. Perubahan bunyi juga dapat berupa penambahan, contohnya pada kata *kapung dalam Proto Austronesia menjadi kampung. Perubahan bunyi dapat pula berupa diftongisasi dan monoftongisasi. Diftongisasi berarti perubahan dari vokal menjadi diftong, contohnya teladan menjadi tauladan. Adapun monoftongisasi berarti perubahan dari diftong menjadi bunyi vokal, contohnya satai menjadi sate.
Selanjutnya, ada perubahan morfologis, yaitu perubahan yang terjadi pada aspek morfologis bahasa, salah satunya adalah perubahan yang terjadi pada afiks atau imbuhan. Ada pula perubahan leksikal, yaitu perubahan yang terjadi pada aspek leksikal atau perubahan pada kata. Kemudian, perubahan juga terjadi pada bidang sintaksis, perubahan pada tata bahasa. Perubahan sintaksis itu ada, akan tetapi merupakan perubahan yang cukup jarang terjadi.
Kemudian, ada perubahan semantik, yaitu perubahan yang terjadi pada aspek semantik atau makna dalam bahasa. Sebuah kata dapat mengalami beberapa perubahan pada maknanya, di antaranya:
(1) Makna meluas. Perubahan ini dapat dilihat pada kata bapak. Kata bapak dulunya digunakan kata sapaan untuk orang tua laki-laki saja. Akan tetapi, saat ini kata bapak digunakan sebagai kata sapaan untuk laki-laki yang dipandang sebagai orang tua, atau orang yang dihormati. Hal tersebut menunjukkan perluasan makna, bapak yang dulunya hanya digunakan dalam lingkup keluarga;
(2) Makna menyempit. Makna menyempit merupakan kebalikan dari perubahan makna meluas. Perubahan ini terjadi pada kata sarjana. Dahulunya, sarjana merujuk pada orang-orang yang pandai. Akan tetapi, sekarang sarjana hanya ditujukan secara khusus pada orang-orang lulusan perguruan tinggi strata satu.
(3) Ameliorasi dan Peyorasi. Ameliorasi merupakan perubahan makna menjadi lebih positif, contohnya istri lebih berkonotasi positif dibandingkan bini. Peyorasi merupakan perubahan makna menjadi lebih negatif, contohnya pada kata gerombolan yang kini berkonotasi negatif.
(4) Sinestesia, yaitu perubahan makna diakibatkan oleh pertukaran respons indra. Contohnya lirikannya tajam sekali. Lirikan sejatinya dapat dilihat melalui penglihatan. Akan tetapi dalam kalimat tersebut ditunjukkan terjadinya pertukaran respons indra dari penglihatan menjadi peraba yang ditunjukkan pada frasa tajam sekali.
Terlepas dari perubahan yang terjadi pada unsur bahasa di atas, perubahan dalam bahasa juga dapat berupa perubahan pada ejaan. Seperti yang kita tahu, ejaan yang digunakan dalam bahasa Indonesia telah mengalami serangkaian perubahan. Pada tahun 1901—1947, ejaan yang digunakan adalah ejaan Van Ophuisjen. Ejaan ini ditandai dengan konsonan rangkap yang mewakili satu bunyi, contohnya tj = c pada kata tjahatja (cahaya), oe = u pada kata soedi (sudi); huruf k ditulis dengan tanda ‘, contoh bapa’ (bapak); kata ulang ditandai dengan angka 2, contohnya koera2 (kura-kura).
Kemudian, pada tahun 1947—1972, digunakanlah ejaan Suwandi. Ejaan ini memuat perubahan dari ejaan sebelumnya, seperti vokal u tidak lagi ditulis oe, huruf k ditulis k, serta awalan dan kata depan di dan ke yang ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Selanjutnya, pada tahun 1972—2015 digunakan ejaan yang disempurnakan (EYD). Sistem ejaan ini pun menyempurnakan bentuk sebelumnya, seperti penulisan kata ulang yang ditulis utuh, awalan dan kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya, serta tidak lagi digunakan bentuk tj untuk c, j untuk y, dj untuk j, ch untuk kh, dan sj untuk sy.
Lalu, EYD digantikan oleh PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) yang digunakan dari tahun 2015 hingga 2022. Adapun sejak 16 Agustus 2022 hingga sekarang, PUEBI digantikan kembali oleh EYD edisi kelima sebagai pedoman ejaan dalam bahasa Indonesia.
Semoga informasi ini bermanfaat ya, Sobat Eja.