Kata Kita
Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Hati-hati dengan Kalimat "Jangan Membalas Pukulan"
Oleh Ria Febrina, S.S., M.Hum.*
âJangan bertengkar ya, Nak! Jangan membalas pukulan teman! Itu tidak baik.â
Siapa pun guru saat ini, pasti akan berkata demikian kepada siswanya di sekolah. Anak-anak yang hari-harinya selalu bersama guru, akan menyimpan kalimat ini dalam hati dan menanamnya dalam jiwa.
âSaya tidak boleh bertengkar.â
âSaya tidak boleh membalas pukulan teman.â
Namun, siapa sangka, saya menemukan dampak psikologis yang buruk ketika anak-anak menanamkan kalimat ini dalam pikiran dan hati mereka. Anak-anak berusia 7â9 tahun memilih diam, tidak menceritakan apa pun kepada orang tua dan guru ketika ada temannya yang melakukan kekerasan, pelecehan seksual, hingga pemerasan. Mereka baru bercerita ketika ditanya karena pulang-pulang sudah murung atau tubuh sudah memar, terluka, dan berdarah.
Saya menemukan fakta ini ketika memberanikan diri tahu lebih lanjut tentang sebuah kasus terkait seorang anak yang bermasalah di salah satu sekolah di Yogyakarta. Si anak setiap hari memukul, menampar, men-smack down, dan memiting âmengapit atau menjepit dengan kaki atau lenganâ teman laki-lakinya yang sekelas. Secara acak, bergantian, dari anak yang satu ke anak yang lain.
Setelah menelusuri lebih lanjut, ternyata si anak tumbuh seperti ini karena sudah diberi label anak nakal. Awalnya dia tumbuh aktif di kelas, bermain saat pelajaran, serta mengusili beberapa anak. Karena belum melukai anak yang lain, tentu orang tua dan guru berpikir persoalan anak ini hanya karena terlalu aktif. Namun, siapa sangka, lama-lama anak ini benar-benar menjadi anak nakal.
Si anak yang menerima label anak nakal ini secara berulang-ulang tentu menanamkan ke dalam dirinya bahwa ia anak nakal. Barangkali ditambah dengan kondisi lingkungan di rumah, seperti perlakuan orang tua atau kakak; kondisi di lingkungan sekitar, seperti komunikasi dengan teman seusia; serta tontonan di televisi dan Youtube, si anak mengeksplorasi diri dengan keusilan-keusilan lain.
Dampak pelabelan ini kemudian benar-benar menyebabkan si anak tumbuh sebagai anak nakal yang kemudian berani berlaku kriminal. Awalnya usil, lalu pelan-pelan si anak menepuk temannya. Mulai dari pukulan pelan hingga pukulan keras, lalu memukul tangan, bahu, punggung, dan kepala, dilanjutkan dengan menendang kaki hingga men-smack down dan memiting teman.
Bagaimana kondisi anak-anak yang menjadi korban?
Ketika anak-anak yang menjadi korban sudah tersakiti parah, ia melapor kepada guru. Si pelaku pun dimarahi, disuruh berdiri di depan kelas, belajar di luar ruangan, ditarik paksa keluar, hingga dikurung di kamar mandi. Guru sudah bertindak semampu guru. Namun, ada yang dilupakan oleh pihak sekolah. Ada ruang kelas dan ruang-ruang lain di sekolah yang tidak terjangkau oleh guru dan kepala sekolah. Ada waktu-waktu yang menyebabkan anak-anak ini berada tanpa pengawasan guru. Dalam sekejap, tindak kekerasan, pelecehan seksual, dan pemerasan pun terjadi.
Apa yang terjadi kemudian? Anak-anak hanya bisa melapor. Anak-anak tak berani melawan karena ada cap yang disematkan kepada si anak ini. Anak nakal. Tidak bisa dilawan. Guru terus menerima laporan, lalu si pelaku terus dihukum. Bagi anak yang terluka parah, orang tuanya melapor kepada orang tua si pelaku. Si orang tua hanya bisa meminta maaf dan mengganti biaya berobat jika perlu.
Selepas itu, hari-hari anak-anak lain yang tidak bersalah ini terus dihiasi pukulan, tendangan, pitingan, dan hempasan ke lantai. Apakah sekolah diam? Tentu tidak. Pihak sekolah menghadirkan psikolog untuk membina anak ini di hadapan orang tua. Anak diawasi orang tua selama jam pelajaran. Anak mana pun kalau didampingi orang tua akan diam menahan diri selama pendampingan. Alhasil, psikolog memutuskan bahwa si anak bisa melanjutkan belajar di sekolah tersebut.
Apakah si anak berubah setelah itu? Tidak. Dia sudah terlanjur suka dengan perilaku menyimpang ini. Dia candu berbuat hal-hal demikian. Bahkan, alih-alih berubah, si anak malah mencoba hal-hal baru. Barangkali berbekal dari tontonan, ia pun mulai bermain dengan alat kelamin. Celana teman laki-laki ditarik ke bawah, alat kelamin mereka dipegang. Dari menyentuh satu jari, dua jari, hingga meremas pakai lima jari. Bahkan, ada anak yang di-starter kelaminnya dengan kaki. Miris.
Sayangnya pihak sekolah terlambat mengetahui. Orang tua juga tidak langsung menyampaikan kepada pihak sekolah. Orang tua hanya bercerita dari teman ke teman yang sama-sama wali murid di kelas tersebut. Si anak tentu belum dihukum. Alhasil, setiap waktu korban bergantian. Seorang anak akan bersyukur jika besoknya dia tidak menjadi korban. Sayangnya, teman yang lainlah yang menjadi korban pada hari berikutnya. Inilah yang kemudian menyebabkan tindakan si anak menjadi kebiasaan. Ia berbuat apa pun, kapan pun, tanpa merasa terancam.
Jika kembali ke awal, ada yang lupa disampaikan guru dari kalimat larangannya. Setelah kalimat, âJangan membalas pukulanâ, seharusnya diikuti oleh kalimat âSegera temui guru dan laporkan!â Kalimat ini sederhana, tapi sebenarnya dapat menjadi solusi ketika anak berada dalam kondisi rawan, terdesak, atau terancam. Anak-anak yang dilatih mendengar âLaporkan kepada guru atau laporkan kepada orang yang lebih tuaâ akan membentuk keberanian dalam dirinya.
Dalam kajian linguistik, dijelaskan bahwa bahasa akan membentuk perilaku seseorang. Setiap bahasa yang diterima anak dari guru akan berproses membentuk perilaku dan kepribadian dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Jean Piaget, seorang ahli biologi yang memperoleh nama sebagai psikolog anak (1927â1980). Menurut Jean Piaget, seorang kanak-kanak mempelajari segala sesuatu mengenai dunia melalui tindakan dan bahasa. Itulah sebabnya, hampir semua anak meyakini apa yang disampaikan oleh guru.
Ketika guru berkata tidak boleh, anak-anak akan mematuhi. Ketika guru berkata boleh, anak-anak pun akan mendengarkan. Ketika seorang guru berkata, âJangan dilawanâ, anak-anak tidak akan melawan. Namun, apa yang harus dilakukan anak setelah itu?
Setiap kalimat yang disampaikan guru kepada siswa sebenarnya menjadi penentu bagaimana anak-anak bersikap. Saya pun menyadari ini ketika suatu hari sepulang dari TK, anak laki-laki saya yang sangat suka kuning telur tiba-tiba tidak suka dan selalu meninggalkan kuning telur di dalam piringnya. Ketika ditanya, dia menjawab, âKata guru tidak boleh sering-sering makan kuning telur. Kita harus banyak makan putih telurâ. Meskipun kami sebagai orang tua menjelaskan bahwa kuning telur juga bagus untuk kesehatan, sampai mengutip kalimat dokter, dia tetap memilih percaya dengan kalimat gurunya. Begitulah kekuatan kalimat seorang guru!
Itulah mengapa saya sebutkan pada bagian judul, âHati-hati dengan Kalimat Jangan Membalas Pukulanâ. Ketika kalimat ini disampaikan oleh seorang guru dan tidak dilanjutkan dengan tindakan apa yang seharusnya dilakukan anak selanjutnya, anak-anak akan mengalami keterpurukan mental. Tidak apa-apa jika anak-anak diajarkan tidak boleh melawan kekerasan dengan kekerasan, tetapi anak-anak harus diajarkan berani melaporkan semua kejadian yang terjadi pada dirinya.
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., Direktur Sekolah Dasar, Kemdikbudristek (2022) memaparkan bahwa di jenjang sekolah dasar, jumlah perundungan, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikis, hingga kekerasan seksual kerap terjadi. Saat hal buruk itu terjadi, anak-anak tidak diajarkan untuk membela diri. Anak-anak hanya diminta menghindari pertengkaran, namun tidak diberi petunjuk apa yang harus mereka lakukan ketika ada temannya melakukan tindakan kekerasan hingga pelecehan seksual.
Terkait kasus kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah tadi, ada catatan yang perlu ditekankan kepada pihak sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Mendikbudristek, ada tiga dosa pendidikan yang harus ditangani dengan serius dan penuh tanggung jawab, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Semua tindakan tersebut tidak boleh ditutup-tutupi, tetapi harus diselesaikan. Melihat akar masalah pada kasus ini, anak yang menjadi pelaku kekerasan, pelecehan seksual, dan pemerasan tadi harus dipindahkan ke sekolah yang memiliki penanganan dan pendampingan khusus.
Membiarkan anak ini berada di lingkungan sekolah saat ini berarti membiarkan perilaku kekerasan, pelecehan seksual, dan pemerasan ini tumbuh di sekolah tersebut. Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Puluhan anak masih bisa memiliki masa depan yang cerah. Jangan jadikan mereka korban atau malah kelak menjadi pelaku kekerasan juga.
Mempertahankan satu anak yang bermasalah ini di sekolah bukanlah solusi yang tepat karena tindakan yang dilakukan si anak merupakan pelanggaran batasan seksual orang lain. Anak-anak yang menjadi korban dapat mengalami ketakutan, depresi, hingga gangguan mental dan kejiwaan. Sebagaimana disampaikan Jean Piaget, setiap kejadian yang dialami oleh seorang anak akan menentukan batasan pengalaman anak. Ketika anak-anak tumbuh dengan perilaku kekerasan, pelecehan seksual, dan pemerasan, hal-hal tersebut akan menjadi batasan pengalamannya untuk terus diulang dan diulang.
*Tulisan ini sudah dimuat di Scientia.id. Silakan lihat juga melalui bit.ly/kata-jangan-scientia.