Kata Kita
Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Sikap Bahasa
Oleh Ria Febrina, S.S., M.Hum.*
Sadar atau tidak, para penutur bahasa suka menilai bahasa penutur lain. Misalnya, seseorang yang berasal dari luar Pulau Jawa melafalkan sebuah nama tempat di Pulau Jawa. Karena bahasa daerah yang dimiliki penutur ini berbeda dengan bahasa Jawa, bunyi bahasa yang dihasilkan pun pasti akan berbeda. Jika pengucapan penutur ini tidak sama dengan penutur bahasa Jawa, itu adalah sesuatu yang wajar.
Kita bisa lihat pada pengucapan nama tempat Gunung Semeru. Pengucapan bunyi [e] pada kata tersebut akan berbeda antara penutur bahasa Jawa dan bukan penutur bahasa Jawa. Bagi penutur bahasa Jawa, kata Semeru akan dilafalkan menggunakan e pepet. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2023), pepet merupakan tanda “^” untuk menyatakan bunyi /ə/ dalam kata, seperti segar dan lekas.
Dalam kajian linguistik, bunyi e pepet ini dilambangkan dengan menggunakan tanda diakritik (ê) yang dilafalkan dengan [ə]. Selain segar dan lekas, pengucapan yang mirip dapat kita lihat pada kata yang bagian awalnya memiliki e pepet, seperti emas; pada kata yang bagian tengahnya memiliki e pepet, seperti kena; dan pada kata yang bagian akhirnya memiliki e pepet, seperti tipe.
Dalam bahasa daerah tertentu, bisa jadi bunyi [ə] ini tidak ada atau tidak dominan. Hanya sedikit kata yang dilafalkan dengan bunyi [ə]. Sebaliknya, bunyi e yang dominan adalah bunyi e yang dilafalkan kuat atau tampak bulat dalam pengucapan, misalnya pada kata enak (bagian awal), petak (bagian tengah), dan sore (bagian akhir). Bagi penutur ini, semua kata yang memiliki huruf e akan dilafalkan secara kuat dan juga bulat. Oleh sebab itu, kata Semeru dilafalkan [semeru], bukan [səməru].
Apakah salah jika bukan penutur bahasa Jawa melafalkan [semeru], bukan [səməru]? Jawabannya tentu tidak karena makna tidak berubah ketika pelafalan berbeda. Pelafalan berbeda karena bunyi bahasa yang dimilikinya juga berbeda. Hal ini justru menyebabkan bunyi yang dihasilkan menjadi bervariasi. Namun sayangnya, banyak penutur bahasa yang kemudian menilai salah penutur bahasa lain dalam mengucapkan kata yang berasal dari bahasanya, bahkan ada juga yang menertawakan pengucapan bunyi penutur lain tersebut.
Dalam ilmu bahasa, reaksi orang seorang terhadap bahasa ini sudah lama dikaji, bahkan ahli di bidang psikologi dan antropologi juga turut serta meneliti fenomena ini. Dalam kajian bahasa, fenomena ini dinamakan dengan sikap bahasa. Seorang penutur menilai kebahasaannya atau pemakaian bahasa penutur lain. Penilaian didasarkan pada bentuk yang dianggap lebih baik atau lebih patut. Menurut Smith (1973) dalam Language, Speech, and Ideology, sikap bahasa disebut dengan judgement. Sebuah tata nilai yang diungkapkan sebagai perangkat sikap yang di dalam perilakunya berupa pernyataan putusan-penilaian.
Dalam perkembangan bahasa, judgement atau penilaian terhadap bahasa yang lebih baik atau lebih patut ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan bahasa. Hal ini diungkapkan Anton M. Moeliono (1981) dalam disertasinya yang berjudul “Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa”. Penilaian lebih baik dan lebih patut pernah menyebabkan terjadinya perubahan bahasa sesaat-sesaat (insidental) dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia, bentuk yaitu ternyata hasil penilaian lebih patut dari bentuk ia + itu. Suwardi Notosudirjo (1981) dalam Pengetahuan Bahasa Indonesia: Etimologi juga mengungkapkan hal yang sama. Kata yaitu dijelaskan secara etimologi berasal dari bentuk ia-itu. Dalam KBBI (2023), kata yaitu merupakan ‘kata penghubung yang digunakan untuk memerinci keterangan kalimat’. Kita bisa melihat pemakaiannya dalam kalimat “Yang pergi tahun ini dua orang, yaitu dia dan saya”.
Meskipun yaitu dijelaskan sebagai perubahan bahasa dari ia + itu, kata yakni tidak dijelaskan berasal dari ia + ini. Suwardi Notosudirjo (1981) menjelaskan bahwa kata yakni merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu ya’ni. Proses penyerapan yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia menyebabkan kata ini berubah menjadi yakni.
Lalu, adakah kata lain yang mirip dengan ia + itu? Menurut Anton M. Moeliono (1981), ada bentuk yang prosesnya mirip, yaitu ia + lah. Perbedaanya, kata ia + itu mengalami perubahan ejaan menjadi yaitu, sedangkan kata ia + lah tidak mengalami perubahan ejaan. Bentuk yang dihasilkan tetap sama, yaitu ialah.
Dalam perkembangan bahasa Indonesia, sikap bahasa juga menentukan banyak bentuk-bentuk baru dalam bahasa Indonesia, misalnya pada tahun 1945, ketika revolusi Indonesia berkobar, orang-orang Indonesia mulai menggantikan grafem <oe> yang terdapat dalam ejaan bahasa Belanda menjadi grafem <u>. Perubahan ini berkenaan dengan sikap ingin menjauhkan atau membebaskan diri dari segala hal yang bercorak Belanda. Oleh sebab itulah, banyak kata yang mengandung oe berubah menjadi u, seperti oentoek menjadi untuk dan oentoeng menjadi untung.
Itulah mengapa dalam pengembangan dan pembinaan bahasa, sikap bahasa untuk mencintai bahasa sendiri amat diperlukan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa meminta kita untuk mempraktikkan slogan “Cintai bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing, dan lestarikan bahasa daerah”. Memilih bahasa Indonesia daripada bahasa asing merupakan sebuah sikap yanng harus dikembangkan dalam mempertahankan bahasa Indonesia untuk generasi yang akan datang.
*Tulisan ini sudah dimuat di Scientia.id. Silakan lihat juga melalui bit.ly/scientia-sikapbahasa.