Kata Kita
Berita, Artikel, dan Opini tentang Ejaan. id dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Salahkah Menggunakan Bahasa tidak Baku?
Oleh Jufika Martalina, M.Hum.*
Persoalan ini berawal dari perbincangan teman-teman saya beberapa minggu lalu di grup WhatsApp. Salah satu dari anggota grup memberikan opini yang di dalamnya mengandung kata tolak ukur. Kemudian, salah satu anggota lain menimpalinya dengan memberikan penegasan bahwa tolok, bukan tolak! Berdasarkan kejadian tersebut terjadi beberapa perdebatan dengan munculnya opini anggota lain dengan beberapa pertanyaan kepada anggota yang mengkritisi perihal tolak ukur yang seharusnya adalah tolok ukur. Salah satu pertanyaan menarik yang muncul ketika perdebatan itu adalah mengapa orang-orang banyak menggunakan tolak ukur, bukan tolok ukur?
Sebagai masyarakat awam tentunya kita terbiasa mendengar atau menggunakan tolak ukur, bukan tolok ukur dalam sebuah tuturan. Jika ditelaah lebih dalam, perihal penggunaan kata tolak dan tolok sebenarnya tidak ada masalah ketika kita melihat kapan kata tersebut hadir dalam sebuah tuturan. Kapan penggunaan sebuah kata digunakan berhubungan dengan ilmu bahasa interdisipliner, yaitu sosiolinguistik. Menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik, sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial ini akan menghadirkan istilah ragam bahasa dalam penggunaannya.
Suhardi dan Cornelius mengungkapkan bahwa suatu bahasa atau kata-kata yang dipakai oleh masyarakat penuturnya digunakan untuk keperluan komunikasi yang meliputi tiga hal, yaitu medan (field), suasana (tenor), dan cara (mode). Medan merupakan subjek atau topik dalam teks suatu pembicaraan. Suasana mengacu pada hubungan peran peserta tuturan atau pembicaraan. Keberagaman menurut suasana berwujud dalam aspek kesantunan, ukuran formal dan tidaknya suatu ujaran, dan status partisipan yang terlibat di dalamnya. Cara mengacu kepada peran yang dimainkan bahasa dalam komunikasi. Termasuk di dalamnya adalah peran yang terkait dengan jalur yang digunakan ketika berkomunikasi. Jalur yang dimaksud adalah apakah pesan disampaikan dengan bahasa tulis, lisan, lisan untuk dituliskan, dan tulis untuk dilisankan.
Perihal penggunaan kata tolak ukur atau tolok ukur dalam sosiolinguistik dihubungkan dengan ragam baku dan tidak baku. Sebelum kita telaah lebih dalam, alangkah lebih baiknya kita harus mengetahui maksud dari ragam baku dan tidak baku. Ragam baku adalah ragam bahasa yang sudah melewati proses kodifikasi, yaitu tahap pembakuan tata bahasa, ejaan, dan kosakata. Pembakuan tersebut biasanya dicapai melalui penyusunan kamus. Ragam bahasa ini lazim ditemukan dalam bahasa tulis daripada bahasa lisan. Ragam tidak baku adalah kebalikan dari ragam baku.
Untuk mengetahui status kebakuan dari kedua kata tersebut yang digabungkan dengan kata ukur, kita bisa melakukan pengecekan melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jika kita telaah satu persatu arti dari kata tolak dan tolok dalam KBBI Edisi V ditemukan bahwa tolak adalah kata kerja yang berarti ‘sorong; dorong’, sedangkan tolok adalah kata benda yang berarti ‘banding; imbangan yang mempunyai kaitan makna dengan kata “ukur”’. Dengan demikian, tolok ukur merupakan ragam baku karena terdapat dalam kamus yang berarti sebagai sesuatu yang dipakai sebagai dasar mengukur (menilai, dan sebagainya); patokan; standar.
Persoalan mengapa masyarakat lebih terbiasa dengan tolak ukur, bukan tolok ukur? Ini dikarenakan bahwa masyarakat kita lebih dikenal dengan masyarakat lisan. Dalam pertuturan masyarakat lisan permasalahan apakah bahasa yang digunakan tersebut baku atau tidak bukanlah hal yang patut dipersoalkan. Poin terpenting dalam berkomunikasi ketika makna/informasi sampai kepada lawan bicara. Selain itu juga dipengaruhi oleh suasana dan cara komunikasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Penggunaan kata tolak ukur akan menjadi tidak tepat ketika digunakan dalam ragam yang baku, seperti bahasa dalam penulisan artikel dan karya ilmiah. Oleh karena itu, ketika menulis sesuatu yang bersifat resmi maka kita perlu menggunakan kata yang sudah distandarisasikan dan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam etika kepenulisan. Namun, tidak tertutup kemungkinan ragam baku juga digunakan dalam beberapa situasi tertentu dalam tuturan lisan, misalnya saat berpidato atau acara-acara formal lainnya.
__________________
Tentang Penulis
Jufika Martalina, M.Hum. lahir di Padang 26 April 1991. Telah menempuh pendidikan pascasarjana program studi Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat. Alamat email jufika260491@gmail.com, nomor telepon seluler 085256316016.